Selasa, 29 Januari 2013

       Beberapa waktu  ke belakang ini saya menyempatkan waktu saya bersama seorang kenalan saya dari tetangga sebelah, membahas mengenai dunia per-keris-an dan berbagai macam filosofi  dan kearifan lokal yang ada di bumi Nusantara kita ini. Saya  menemukan bahwa terdapat banyak pembahasan menarik yang dapat kita tilik dari sudut pandang orang kuno zaman dahulu, di mana teknologi dan penemuan masih minim, tapi bagaimana orang-orang terdahulu telah berhasil mencapai, atau paling tidak mendekati tatanan hidup orang-orang yang hidup di era masa kini. Seakan juga memberikan hembusan angin segar pada saya bahwa banyak kebijaksanaan lokal yang sebenarnya banyak dilupakan oleh pemikiran modern, akan tetapi sebenarnya berhasil menciptakan tatanan sosial yang harmonis dan minim pertentangan di masa lalu. Berhubung saya adalah seorang penggemar persenjataan, saya mengawali diskusi dan kajian-kajian saya mengenai filosofi tersebut dari dunia persenjataan kuno pula.

      Berawal dari seorang kerabat yang menunjukkan pada saya sebilah keris, dengan tajuk "Brojoguno", seorang empu dari Madura, yang dipercayai kerisnya memiliki kemampuan tersendiri, yakni kemampuan menghujam metal, logam, yang umum dipakai oleh prajurit pada era-nya sebagai perlindungan terhadap senjata tajam. Saya memang bukan seorang yang tunduk akan dunia mistis, atau klenik, dan tidak juga saya menyangkal keberadaan kekuatan di luar batas standar manusia. Akan tetapi bukan mengenai itu yang saya bicarakan di sini, namun, kemampuan teknologi lama yang mampu menyaingi teknologi masa sekarang. Saya diperagakan oleh kerabat saya tersebut mengenai  kemampuan keris Brojoguno yang mampu menembus koin logam Rp1000,- keluaran tahun 2010 yang materialnya adalah nikel dan baja. Sebagai orang yang telah berkutat di dunia persenjataan tajam selama kurang lebih 5 tahun, saya tahu pasti, bahwa menghujamkan senjata tajam ke logam lain akan menyebabkan kerusakan pada senjata tersebut. Akan tetapi yang terjadi adalah bahwa tidak terdapat kerusakan yang dialami oleh keris tersebut setelah sekitar 4 kali dihujamkan ke koin logam secara berulang-ulang. Segera saya diinfokan bahwa apa yang didemonstrasikan pada saya bukanlah sebuah kekuatan mistis, akan tetapi keunggulan metalurgi yang telah dimiliki bangsa di Nusantara sejak abad 15-16. Ini yang merupakan titik awal keinginan saya untuk ingin lebih mengetahui kearifan apa saja yang tersimpan di dalam bumi Nusantara ini.

      Saya sering mencari info mengenai persenjataan yang tersebar di seluruh dunia, dan harus saya akui, bahwa kemampuan yang dimiliki oleh keris Brojoguno tersebut bukanlah hal yang baru buat saya karena saya pernah melihat senjata lain yang juga memiliki daya rusak yang sama. Namun, yang menjadi sorotan adalah senjata lain-lain itu tidak dibuat pada era yang sama dengan keris Brojoguno tadi,  dengan kata lain, senjata-senjata lain itu dibuat pada era masa kini di mana teknologi metalurgi sudah berkembang dan kontrol pembuatan barang-barang dengan kemampuan metalurgi tinggi sudah mampu diproduksi secara luas, sementara, keris Brojoguno tadi diproduksi saat teknologi yang sudah saya sebutkan tadi belum tersedia di Nusantara, bahkan di belahan dunia lainnya. Keberadaan informasi ini seakan menyadarkan saya bahwa sesungguhnya, ada sesuatu yang lebih yang dimiliki oleh bangsa ini, akan tetapi kita sudah keburu malas  membahasnya, apalagi menerapkannya.

Rabu, 23 Mei 2012

Kalau Saja Seppuku Adalah Pilihan

Kalau saja Seppuku adalah pilihan hidup yang boleh saya ambil, niscaya akan saya ambil pilihan itu. Sayangnya itu bukan pilihan yang tersedia buat saya. Pilihan saya hanya berjuang terus tanpa peduli lecutan cambuk kekosongan, atau berjuang terus sampai akhirnya mati dalam hidup. Ya, intinya adalah saya harus berjuang terus melewati goresan yang perih, atas sebuah konsekuensi yang berani saya ambil tanpa pikir panjang. Maka saya harus berani tenggelam di dalamnya, entah untuk muncul kembali ke permukaan atau tidak.

Babak I:

Kira-kira seperti itulah yang menjelaskan apa yang saya rasakan setelah sekian lama ini, 2 tahun berkelit berputar-putar di tempat yang sama, mencoba mencapai sesuatu yang bahkan saya tidak tahu apa akhirnya. Saya merasa terjebak dalam tipuan yang manis, iming-iming akan masa depan cerah. Bayangan saya bahwa hidup ini mudah seakan dipatahkan. Ya, hidup tidak mudah, terlebih apabila ada orang-orang serakah yang mengambil hidup kita sedikit demi sedikit. Akhirnya, saat saya seharusnya berjuang guna meraih nilai-nilai kosong itu, yang saya lakukan malah mencoba mencari hakikat dan nilai-nilai kebenaran dalam hidup. Yang saya temukan adalah manusia itu tidak lepas dari keinginan pribadinya untuk menjadi dominan. Masalahnya adalah apakah yang dominan itu kemudian mampu mendominasi dirinya sendiri?

Babak II:

Banyak kali saya temukan orang-orang yang berbicara akan perubahan, kesuksesan, kedigdayaan, kehebatan, kedahsyatan, ke-MAHA-an, seakan itu adalah keniscayaan yang omni-potent. Pada satu sisi, ya, saya setuju, bila segala kekuatan itu mendatangkan uang bak banjir bandang, makan bisa jadi Anda akan omni-potent dalam dunia manusia. Tapi apakah omni-potent itu lantas berlaku di dunia kalbu? Tidak, saya rasa tidak ada kedigdayaan yang mampu memenangkan hati nurani, lantas saya kian merasa bahwa kedigdayaan semu yang ingin diraih orang-orang dengan gelap mata itu kekurangan poin-poin akan harmonisasi dan kepemerataan bagi orang lain. "Pada beberapa titik, ada rumah-rumah yang ditutup agar rumah-rumah yang tersisa adalah rumah-rumah yang menyembah kepada raja.". Akhirnya, saya merasakan bahwa saya terlalu ditarik oleh pikat omni-potente semu itu, kedigdayaan kosong yang kehilangan nyawa-nyawa kebenaran, yang kritis dan skeptis, menolak karena kesalahan, diam karena penuh, dan mengisi di kala kosong. Maka saya merasakan tekanan yang kuat bagi saya untuk berundur dari pencarian digdaya yang semu ini, untuk mendapatkan nilai-nilai sejati akan kebenaran.

Babak III:

Saya merasakan bahwa saya seringkali mengalami proses dekadensi nurani di kala saya berinteraksi dengan rekan-rekan saya. Oleh sebab itu besar keyakinan saya bahwa sejatinya, kekosongan itu dimulai saat kita berinteraksi dengan orang lain. Proses pengosongan itu berangsur-angsur terjadi mulai dari interaksi pertama kita dengan seseorang, hingga akhirnya kita menyerahkan eksistensi kita kepada atmosfer kebesaran saat kita berada dalam sebuah kerumunan yang kuat. Justru, menurut saya di situlah kita mulai melupakan nilai-nilai penting dan arti kehidupan, serta kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kita berusaha tidak menjadi diri kita sendiri di kala kita ingin meraih sesuatu dari orang lain, anggaplah respons positif. Kita tidak akan pernah menjadi diri kita yang nyata, yang haus akan arti hidup ini, saat menampilkan diri kita kepada orang lain. Entah itu adalah hal yang tabu atau bukan, kecil kemungkinannya kita mendepiksikan diri kita sebagaimana kita mau secara naluriah. Oleh sebab itu, tidak heran bila akhirnya orang-orang hebat zaman terdahulu, seperti Musashi Miyamoto, yang meluangkan akhir hidupnya kepada kesunyian dalam kuil Buddha. Mungkin itu yang saya butuhkan, waktu untuk mencari hakikat hidup ini, meluangkan waktu dalam kesunyian guna mendapatkan jawaban atas kebenaran yang saya rasa mulai lepas dari genggaman dunia. Maka, akan saya cari itu di luar dunia...


Kira-kira seperti itu, 3 babak yang abstrak, akan pandangan saya mengenai hakikat kebenaran, bagaimana sesungguhnya kita sebagai manusia terlampau kosong, tidak memiliki isi yang jelas. Apa yang kita pegang mungkin tidak sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Mungkin kita hanya menjadi budak ikatan dan pikat kedigdayaan semu yang bertujuan akhir mendominasi orang lain. Di luar itu, saya ingin mencari seperti apa sejatinya hidup yang tanpa mendominasi orang lain, hidup bagaikan alam, bukan bagaikan binatang, yang bersinergi satu sama lain tanpa rasa ingin saling menguasai demi kemantapan genggam kita atas nyawa makhluk lain. Mungkin itu ada di luar dunia manusia, di mana dominasi dipegang hanya antara seorang manusia dan yang berkuasa atas manusia...

Maka Seppuku bukan pilihan yang akan saya ambil, karena melaluinya tidak menjamin saya mendapatkan apa yang saya cari. Lantas, saya akan terus mengarungi sungai lahar, hutan belati, dan lautan roman yang membasahi kekosongan jiwa manusia dengan tawa yang lepas, tawa yang ingin merengut nyawa Anda dari diri Anda sendiri, tanpa Anda pernah tau. Tawa yang senang akan nyawa yang ia telah ambil, melalui berbagai tawaran yang murah, nyawa-nyawa murah...

Minggu, 19 Februari 2012

Benarkah Tuhan Menyiapkan Sesuatu Yang Lebih Baik?

Mungkin kita pernah diterpa sebuah bentuk penyesalan, kekecewaan, dendam, sakit hati, atau kesedihan. Anda tahu hal-hal di atas dilarang oleh agama, bila Anda percaya akan adanya agama. Tak sedikit orang yang akan menenangkan Anda dengan berkata,"tidak apa-apa, pasti Tuhan punya rencana yang lebih baik buat Anda". Kalimat yang menenangkan bukan? Saya setuju kalimat tersebut menenangkan, tapi saya meragukan kebenarannya. Bagaimana bisa? Simaklah pembahasan saya di bawah ini.

Bila Anda percaya bahwa Tuhan punya rencana yang lebih baik bagi Anda, tapi Anda harus merasakan kegagalan dan kesedihan terlebih dahulu, bukankah artinya Tuhan itu kejam? Jahatkah Ia sehingga Anda harus merasakan kesedihan, yang mungkin menyakiti diri Anda? Saya bilang, kalau begitu adanya, maka iya, cukup jahat. Namun sayangnya, bukan seperti itulah yang saya pahami. Tuhan adalah Maha Bijaksana, Maha Kuasa. Bila Ia ingin memberikan Anda sesuatu yang baik, buat apa Ia menjerumuskan Anda dalam kekecewaan, yang mungkin bisa mematahkan semangat Anda?

Mungkin Anda sudah pernah berdoa pada Tuhan, meminta diberikan sesuatu, atau yang lainnya. Tapi kemudian, entah, mungkin Anda tidak merasa doa Anda dikabulkan atau Anda merasa doa Anda kurang manjur, tapi yang jelas Anda kecewa dengan hasil yang Anda dapatkan. Menurut saya, dengan berdoa, tidak semestinya Anda kecewa karena Anda telah berserah diri dan menyerahkan hasilnya pada Yang Maha Kuasa. Kalau Anda masih kecewa dan mau menyalahkan Tuhan yang tidak mengabulkan doa Anda, pikirkan lagi. Anda tidak konsisten namanya kalau itu adalah cara yang Anda tempuh. Mungkinkah Tuhan menyiapkan yang lebih baik? Mungkin ya, mungkin tidak, saya tidak tahu, dan kita semua juga tidak tahu. Tapi coba renungkan kalimat di bawah ini:

    “Kalau orang lain berdoa meminta masuk surga, maka saya setiap hari berdoa kepada Tuhan semoga saya masuk neraka!”


Kalimat di atas adalah kalimat yang dilontarkan oleh Bob Sadino, seorang pengusaha kenamaan dari Jakarta. Kesannya memang kurang ajar, tapi kemudian dipaparkan lebih lanjut bahwa ada makna tersembunyi dari balik kalimat itu. Bob Sadino memaparkan bahwasanya ia malu meminta surga pada Tuhan, karena ia merasa tak pantas karena sudah berlumur dosa. Mungkin artinya dia mengakui bahwa Tuhan Maha Adil. Memang tidak semuanya benar, namun bila kita tangkap maksudnya, Bob Sadino seakan menegur kita bahwa justru kita yang jangan kurang ajar pada Tuhan. Dengan usaha kita yang minim, pantaskah kita meminta hasil maksimal pada Tuhan? Terlebih lagi, bila usaha kita hanya berdoa, pantas pulakah kita menuntut Tuhan karena tidak mengabulkan doa kita?

Gampangnya, saya tegaskan bahwa menurut saya Tuhan tidak menyiapkan apa-apa buat kita. Lalu apa fungsi Tuhan? Ia di sana untuk melindungi kita dari sesuatu yang membahayakan kita, bukan untuk menuruti kemauan kita. Mungkin harus saya ingatkan pada Anda bahwa kita adalah hamba Tuhan, bukan sebaliknya. Dengan posisi seperti itu, menurut saya, fungsi doa adalah meminta izin agar rencana kita diberikan semacam green light. Sementara keberhasilannya ya tergantung kita masing-masing. Sehingga, bila kita gagal, mungkin Tuhan tidak mengizinkan kita karena suatu hal, lantas jangan kita hanya menunggu dan menyesal, kita lakukan hal lain yang bisa kita lakukan, agar kita meraih keberhasilan di tempat lain.

Mungkin untuk membantu Anda, saya berikan analogi sederhana:
Bayangkan Anda adalah seorang Tuan, yang memiliki seorang pelayan. Suatu hari di musim badai, pelayan Anda meminta izin pada Anda untuk berlayar ke Samudera guna mencari ikan. Karena Anda tahu sedang badai dan Anda menguasai ilmu navigasi dan geografi, pasti Anda sebagai Tuan yang baik akan melarang pelayan Anda untuk melaut. Namun apa yang Anda rasakan bila niat baik Anda mencegahnya dari hal yang membahayakan tersebut, dibalas dengan sumpahan dan protes dari pelayan Anda? Kesal bukan? Untung Tuhan bukan manusia, Tuhan untungnya Maha Bijaksana.

Jadi kesimpulannya, jangan terlena dengan kalimat penenang di atas. Sesungguhnya Tuhan tidak menyiapkan apa-apa bagi kita, melainkan kita lah yang harus menyiapkan sendiri rencana-rencana pengganti yang dapat Anda kerjakan sepenuh hati.

"Ada banyak pembenaran atas kesalahan yang kita buat, namun hanya sedikit yang mau mengakui kesalahannya tanpa perlu membela diri, dan lebih sedikit lagi yang berhasil memperbaiki kesalahannya tanpa banyak bicara."


- Hanya tulisan dari orang yang masih bodoh. Saya tidak tahu saya masih belajar atau tidak, yang jelas saya mendapatkan banyak pelajaran dari hidup... -

Minggu, 29 Januari 2012

Hidup itu seperti...

"Life is just like a sea. The deeper you dive, the darker will it be..."


Kalimat di atas, entah kata bijak atau bodoh, yang jelas saya suka. Simpel, nyata, dan jelas, kebenarannya dapat dibuktikan. Hanya sebuah renungan tentang hidup yang menua. Mungkin sebagian merasakan, sebagian tidak, tapi yang pasti adalah tiap manusia layaknya seperti penyelam. Ia menyelam terus lebih dalam, hingga akhirnya tenggelam di dasar bumi, laut. Laut, bukan secara denotasi, akan tetapi laut yang saya maksudkan di sini diibaratkan sebagai dunia. Dunia, sebuah keabstrakan yang kita rasakan, tak bisa dijelaskan, kita pahami, tapi tak bisa dikuasai. Dunia yang berbeda dengan bumi, di mana dunia manusia terus berkembang, makin canggih, makin nyaman, di mana bumi makin menua dan makin lapuk. Manusia adalah penyelam di dunia itu sendiri, di mana perbandingan antara keseluruhan laut dan seorang penyelam nampak sangat signifikan. Kecil, titik, itu penyelam, dan luas seluas-luasnya lah lautan. Begitupun dunia, sangat penuh dan sangat luas, dibandingkan kita yang sendiri, kecil, tiada berdaya. Akan tetapi alangkah lucunya di kala orang merasa jumawa atas dunia, sedangkan ia belum menaklukannya. Sudahkah kita bijak?

Kembali pada pokok pembahasan, mungkin bagi yang memiliki cukup pengalaman dengan orang lain, akan tahu bahwa kalimat yang mengawali posting ini ada benarnya. Sejak kecil, kita dahulu merasakan dunia itu indah, kita dilindungi, kita disayangi, tak ada tanggung jawab nyata. Mungkin sejak kecil kita merasa bahwa masa dewasa kita akan lebih indah. Mungkin benar mungkin tidak, kenyataan tidak seperti harapan bukan? Seperti perumpamaan di atas, the deeper you dive, the darker will it be. Makin dalam Anda menyelam, makin gelap jadinya. Kita mungkin melihat bagaimana dunia ini cukup apik memainkan drama, hingga kita sekarang melihat, bahwa yang terlihat baik, mulai menunjukkan sisi gelapnya, dan yang tadinya buruk, makin legam saja. Salah siapa? Yang jelas bukan Tuhan, ini hanyalah sistem yang dibangun manusia. Makin kita melihat intrik yang dibangun oleh sistem tersebut, makin nampak bahwa dunia ini lebih dari terumbu karang di lautan. Ada berbagai keanehan, kengerian yang tidak elok dipandang.

Bila Anda pernah menyelam di air atau laut, Anda akan merasakan bahwa ketika Anda menyelam makin dalam, Anda dapat merasakan tekanan yang lebih besar. Bukankah hidup juga begitu? Makin dewasa Anda, makin dalam ilmu yang Anda pelajari, makin Anda mendapat tekanan dari sekitar Anda. Seperti laut, tekanan yang ada sifatnya sangat kuat semakin Anda ke dalam, bila Anda tidak cukup kuat, tekanan itu yang akan menghancurkan Anda. Hanya yang kuat dan punya cukup pengalaman yang mampu menahan tekanan sebesar itu, seperti hidup, di mana yang kuat dan yang punya pendirian mampu mempertahankan diri dari dunia...

Selasa, 24 Januari 2012

Blades? Why blades?

Banyak orang yang mempertanyakan kenapa saya suka bermain, mengasah, merawat, mengoleksi, hingga tidur bersama benda tajam. Mau dijelaskan juga susah, karena tentu mereka sulit menerima. Oke, kalau Anda ndak percaya sama kalimat saya yang sebelumnya, coba cerna ini. "Saya suka benda tajam karena mereka terlihat indah dan mampu menciptakan keanggunan". Ada yang bisa menerima, ada yang tidak tentunya. Baiklah, saya jelaskan kalimat di atas.

Pertama, saya menyebut benda tajam sebagai substitusi pisau, pedang, golok, parang, etc. itu bukan tanpa maksud. Menggunakan istilah benda tajam dibandingkan istilah senjata memiliki signifikansi yang cukup besar menurut saya. Ya, memang mungkin beberapa benda tajam tadi dapat dikategorikan sebagai senjata, akan tetapi, lebih dari itu, benda tajam tersebut adalah alat, tools. Untuk apa? Tidak tahu! Fungsi tools adalah variabel, di mana konstantanya adalah pengguna itu sendiri. Lho? Gimana ceritanya Mas Dito kok tergantung orangnya? Gampangnya begini saja. Mas Dito adalah seorang tukang ikan. Mas Dito bekerja di counter ikan supermarket. Suatu hari, Mas Dito di berikan seekor ikan tuna seberat 160kg dan sebuah pedang katana. Apa yang Mas Dito lakukan? Kurang lebih, Mas Dito dengan statusnya sebagai tukang ikan, bakal membelah ikan tuna itu dengan susah payah menggunakan pedang katana itu. Lain halnya apabila Mas Dito adalah perampok. Mas Dito ada di hutan di pinggir perumahan warga. Mas Dito suatu hari menemukan sebuah golok baja. Instead of mencari kayu untuk dijual, karena Mas Dito adalah perampok, Mas Dito menyelinap mencari rumah warga, kemudian merampok di situ. Sekarang, berbeda kan? Got it?


Kedua, benda tajam, dalam berbagai bentuknya, saya lihat memiliki unsur keindahan. Tapi harap diperhatikan, benda tajam yang saya maksud di sini bukan benda tajam secara keseluruhan, tapi benda tajam yang tidak universal. Contohnya, silet, cutter, parang tramontina dan pisau dapur murahan, tidak akan saya anggap memiliki unsur estetis. Sebaliknya, pisau cukur, pisau sushi, golok kebun yang sudah dimodifikasi, dan sebuah pedang katana, memiliki unsur estetis yang cukup agar keindahannya dapat ditampilkan. Apa bedanya? Perhatikan list benda-benda di atas. List yang pertama, bila Anda mengerti maksud saya, tidak memiliki ke-khas-an tersendiri, dalam artian, satu sama lain bentuknya sama saja, dan dapat ditemui di mana-mana. Sementara, barang-barang di list kedua, adalah barang-barang yang khas. Misalnya, golok kebun hanya Anda temui di Indonesia, dan sulit menemukannya di Eropa, bahkan Jepang. Sementara, pedang katana  dan pisau sushi (yanagiba) adalah khas Jepang dan yang tersebar hanya replikanya. Pisau cukur pun ada yang diproduksi secara limited, dan berbeda-beda, sehingga layak menjadi koleksi, seperti zippo. Untuk mengerti pasal ini, Anda mungkin harus mencoba sendiri. Coba beli sebuah pedang katana (replika saja, tidak usah nihonto), dan sebuah pisau dapur murahan. Anda pajang kedua benda tersebut di ruang tamu Anda, dan perhatikan, yang mana yang lebih merusak pemandangan.

Ketiga, benda tajam yang terkesan senjata tadi, tidak berbahaya, malah mengasyikkan. Kenapa begitu? Sebuah benda menjadi berbahaya bila digunakan untuk menyakiti orang lain. Hal ini terbukti ketika saya melempar seorang anak hingga jungkir balik hanya menggunakan tongkat bambu. Sadis amat? Gimana caranya? Bukan sadis pembaca sekalian, tapi itu hanya kesalahan pribadi dan salah perhitungan. Untuk caranya, lihat saja video aikido tentang tongkat melawan tangan kosong (ternyata cukup mudah dengan dasar beladiri yang cukup). Back to the topic. Sementara, saya tidak menggunakan koleksi saya untuk menyakiti siapapun. Satu-satunya orang yang tersakiti oleh koleksi saya hanyalah diri saya sendiri, di mana saya sering, tanpa sengaja, menyayat diri saya sendiri karena kecerobohan, dan kecerobohan itu tidak memiliki efek yang lethal, sehingga ini relatif tidak berbahaya. Mengasyikkan? Ini berkaitan dengan hobi pada dasarnya. Saya seringkali mengasah pisau, dalam sehari mungkin berkisar 3 jam. Ini saya lakukan tak lain karena kegemaran saya untuk melakukan modifikasi pada pisau. Saya melakukan ini, karena ada kepuasan tersendiri ketika saya selesai mengasah dan melihat hasilnya, sebuah pisau yang mengkilap, untuk saya pamerkan dan saya pajang. Tentu, saya mengasah tidak sembarangan. Tidak semua orang tau dan bisa mengasah. Kalau nekat, dia bisa merusak mata pisau. Saya menggunakan berbagai media yang mungkin tidak terpikirkan oleh Anda. Tapi ya, hasilnya bisa Anda lihat sendiri kalau Anda bertandang ke rumah saya. Sehingga, lebih dari bahaya, pisau yang mengkilat nan tajam tadi lebih terkesan indah. Kalau begitu, kenapa tidak menumpulkan pisau, lalu dikilatkan saja, kan bisa? Hahahaha, pisau mengkilat dan tumpul ibaratnya seperti barang KW, enak dilihat, tidak enak digunakan. Kasarnya seperti pelacur. Dilihat bagus, difungsikan sudah tidak baik. Prinsip saya, benda tajam, selain indah, juga harus fungsional. Maka dari itu, pisau saya yang mengkilap biasanya tajam, dan sangat fungsional untuk digunakan, entah memotong tulang, daging, bambu, kayu, dan kalau terpaksa, ya sebagai alat pertahanan diri.

Terakhir, benda tajam itu indahnya sulit digambarkan. Tapi dari apa yang saya pikirkan, benda tajam adalah gabungan dari sebuah karya seni berupa benda/patung/pajangan, dan lukisan, bahkan lebih dari itu. Keindahan benda tajam tak hanya dilihat dari baiknya kondisi benda tersebut, namun juga fungsinya, ketajamannya, dan keseimbangannya. Saat Anda melihat lukisan, Anda dapat melihat keindahannya, namun Anda tak bisa merasakannya. Saat Anda melihat pajangan, Anda bisa melihat indahnya, merasakannya, namun Anda tidak merasakan fungsinya. Sedangkan benda tajam, Anda mendapatkan keindahan, rasa, dan fungsi. Saya gambarkan begini. Saat Anda melihat sebuah katana, Anda melihat bentuknya yang khas. melihat bentuk tsuba, dan hasil polesan yang indah pada badan bilah. Bila diperkenankan, Anda boleh memegang pedang tersebut, merasakan keseimbangannya, beratnya, dan kualitas bahannya. Lebih dari itu, Anda bisa mengujikan keefektifannya sebagai senjata melalui tes tameshigiri. Dari berbagai hal tersebut, Anda menilai keindahan, kualitas, dan ketajaman. Maka saya mengatakan katana adalah benda seni yang indah, dan perumpamaan yang sama juga berlaku pada beberapa benda tajam lainnya.

Begitulah kira-kira penjabaran panjang saya mengenai benda tajam. Mungkin saatnya Anda merubah cara pandang Anda. Untuk contoh seni yang di dapat dari benda tajam tersebut, saya akan tampilkan beberapa gambar. Have a good day! 





Senin, 23 Januari 2012

Konsep Neraka vs. Konsep Penjara

Hey, selamat malam. Semoga Anda semua baik-baik saja ketika memulai membaca tulisan saya ini. Sebelumnya, permintaan maaf saya tujukan pada Anda bila tulisan ini membingungkan, mengacak-acak ide-ide Anda, membuat bosan, atau bahkan membuat Anda jatuh cinta. Mungkin efek terakhir tidak mungkin terjadi, tapi ya sudahlah, intinya adalah "this is an era of a free speech where individual opinions we're protected, thus, I use this opportunity to share good things I got in my mind with the others. So, be grateful for those who'll read this till the end, as I'll be grateful as well..."


So here we go. Kebiasaan saya adalah ketika saya melakukan hal-hal yang sangat lazim dilakukan seperti makan, menyetir, atau (maaf) buang air besar, pikiran aneh muncul di benak saya. Kini menerpa saya ketika makan seporsi mie ayam kontemporer, adalah sebuah pemikiran bahwa konsep neraka yang dikenalkan kepada masyarakat mungkin tidak penuh atau agak terlalu kejam. Sebuah konsep radikal mungkin, tapi menurut saya konsep neraka tidak jauh berbeda dengan konsep penjara pada umumnya, dan dalam hal ini adalah penjara kelas kakap tempat bernaungnya begal, pembunuh, pemerkosa, tukang sodomi, rampok dan sampah masyarakat lainnya. Memang kejam tempat itu, tapi bukan sepenuhnya kekejaman diciptakan oleh sang pencipta penjara itu, atau neraka. Dalam hal ini, penjara diciptakan pemerintah, dan neraka mau tidak mau harus kita katakan diciptakan oleh Tuhan untuk menghindari segala ambiguitas akibat kurangnya informasi mengenai asal usul neraka.

Saya berikan komparasi sederhana bagi Anda supaya memahami apa maksud saya di sini. Saya akan menjelaskan mengenai apa yang terlintas di benak saya yang masih sempit pemikirannya ini, tentang sebuah konsep neraka, namun saya meminta Anda membayangkan sebuah penjara. Kini Anda bayangkan melihat penjara, di mana ada gerbang masuknya dan ada penjaganya. Ada tembok yang tinggi, dan pagar jeruji besi. Anda masuk ke dalam, di sana ada orang-orang yang tampangnya mengerikan. Anda orang baru di sana. Tentu saja, Anda akan dipelonco terlebih dahulu. Apa bentuknya? Saya tidak tahu, bisa pemukulan, pemalakan, perampasan, atau lebih parah (maaf) sodomi. Tidak senang bukan? Ya, itu memang nasib Anda berada di sini karena kesalahan Anda, akan tetapi, segala bentuk perpeloncoan tersebut tak ada di ketentuan penjara, bahwa napi yang baru masuk harus dipukul, rampas, dan segala macamnya itu. Maksud saya, itu terjadi secara natural dilakukan oleh penghuni yang lain, yang lebih parah, dan dipengaruhi faktor lingkungan. Apakah Direktur penjara mengatur hal tersebut? Tidak tahu, tapi yang jelas mereka tidak menulis hal tersebut dalam daftar Aturan Main Lembaga Pemasyarakatan. Siksaan batin sebenarnya muncul dari kelakuan penghuni penjara tersebut. Ya mungkin ada hukuman dari penjaga, tapi napi lainnya kadang memperparah keadaan. Ruang gerak Anda dibatasi, dan Anda tak bisa keluar dari siksaan fisik dan batin tersebut.

Sekarang kembali Anda ke dunia nyata, ke blog saya ini. Konsep yang saya gambarkan tadi tidak jauh beda, dalam pandangan saya, dengan konsep neraka pada umumnya. Bersifat mengganjar, hukuman, pembatasan pergerakan, siksaan. Akan tetapi, sungguh gegabah bagi kita bila mau mengklaim bahwa Tuhan secara langsung menghukum kita, menyiksa kita, membakar dan seterusnya. Untuk apa Tuhan dikatakan Maha Penyayang, Pengasih, Pengampun dan lain-lain bila Ia melakukan hal tersebut. Tuhan di sana hanya menciptakan sebuah tempat untuk mengganjar. Yang melakukan berbagai macam hal aneh tersebut tentu bukan Ia. Anda pernah dengar bahwa iblis ditempatkan di neraka? Ya anggaplah iblis itu bos dari para begal tersebut. Dia lah yang melakukan perpeloncoan dan keisengan terhadap Anda. Sehingga, Tuhan sebetulnya menurut saya, mungkin murka dengan kelakuan pendosa, akan tetapi serta merta tidak membalas dendam. Lebih kepada rasa kecewa bila diibaratkan manusia, sehingga dengan sangat menyesal, Anda ditempatkan di neraka, begitulah seperti kata di kuis-kuis televisi.

Apa yang kemudian ingin saya katakan di sini adalah bahwa jangan terlalu cepat kita menghakimi bahwa Tuhan itu keji karena menghukum pendosa, sehingga balik mencerca Tuhan dan segala macamnya. Mungkin bukan Ia yang keji, tapi konsep yang tertanam di benak kita yang salah mencerna apa yang seharusnya kita kenal. Mungkin konsep saya ini bukan konsep yang benar pula, akan tetapi, mungkin di luar sana ada yang setuju dan meyakini, seperti saya, bahwa apapun yang tertulis di kitab suci, Tuhan tetap Maha Baik, meskipun saya sering lalai dalam kewajiban saya.